Tubuh Ibu Lina (bukan nama sebenarnya) seperti
tersengat listrik saat ibu guru menyampaikan kalau Hafizh (bukan nama
sebenarnya) mendapat peringkat kedua dari akhir di kelasnya. Ibu merasa
menyesal karena sudah menanyakan peringkat Hafizh di kelas. Format raport
sekarang memang tidak memberikan informasi tentang peringkat anak. Menurut ibu
guru kebijakan tidak mencantumkan peringkat di raport ini untuk menghindari
rasa rendah diri pada anak-anak yang mendapat peringkat rendah. Apalagi Hafizh baru
menginjak kelas 1 SD. Rasanya kurang bijaksana jika baru saja memasuki
lingkungan sekolah dasar langsung mendapat cap bodoh di kelas. Namun jika orang
tua membutuhkan informasi, dipersilakan untuk bertanya langsung pada ibu guru.
Ibu Lina terkaget-kaget karena selama dia mengambil raport kakak-kakaknya Hafizh, dia
selalu mendapat kabar yang menyenangkan.Tiap semester, kedua kakak Hafizh tidak
pernah keluar dari peringkat 5 di kelasnya.
Apa yang salah dengan anak ini? Pikir Ibu Lina.
Batin Ibu Lina penuh dengan kekecewaan. Dipandanginya Hafizh saat pulang dari
sekolah. Hafizh anaknya cenderung pendiam dan sulit beradaptasi dengan
lingkungan baru. Ketika TK, Hafizh pernah mogok sekolah karena mendapat
perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Ibu Lina dan suami membujuk
Hafizh dengan segala cara. Hafizh
dijanjikan hadiah jika mau sekolah. Sekolah pun akan diantar dan ditungguin
sampai selesai oleh Ibu Lina. Tapi Hafizh tetap bergeming tidak mau sekolah.
Ketika sang ayah memaksa Hafizh berangkat sekolah dengan menggendongnya, Hafizh
berontak dan menangis meraung-raung.
Ibu Lina mencoba mengajak Hafizh bicara mengenai
pentingnya sekolah bagi anak-anak dengan bahasa yang lembut.
“Kenapa Hafizh tidak mau sekolah? Semua anak sebesar
Hafizh sekolah lho. Jika Hafizh sekarang di rumah, semua teman Hafizh ada di
sekolah. Hafizh kan sama dengan anak-anak yang lain. Tidak berbeda,” bujuk Ibu.
Hafizh terdiam. Kemudian tanpa disangka ia
mengusulkan sesuatu pada ibunya, “Kenapa Hafizh tidak sekolah di sekolah Kakak
saja?”
“Hafizh mau sekolah di sekolah Kakak?” tanya Ibu
memastikan.
“Mau.”
“Tapi, sekolah di sekolah kakak itu lama lho. Dari
pagi hingga sore. Hafizh mau lama-lama di sekolah?”
“Mau, asal ada kakak.”
Kakak-kakak Hafiz belajar di satu sekolah bersistem
full day school. Sekolah yang memiliki rentang belajar dari pukul 8.00 pagi hingga pukul 16.00. Mereka sekarang duduk di bangku SD. Di sekolah itu tersedia
juga TK dan waktu belajarnya sama dari pagi hingga sore. Ibu Lina tidak
memasukan Hafizh kesana dengan pertimbangan melihat karakter Hafizh yang
pendiam dan sulit beradaptasi. Ibu Lina khawatir jika Hafizh sekolah di sana
akan menimbulkan trauma karena untuk pertama kalinya jauh dari ibunya dan dalam
jangka waktu yang cukup lama. Sehingga Ibu Lina lebih memilih sekolah untuk Hafizh yang berada di
dekat rumah dan waktu belajarnya hanya 3 jam saja.
Akhirnya ketika tahun ajaran baru, Hafizh memasuki
TK B di sekolah barunya. Anehnya, semejak Hafizh sekolah di tempat baru, tidak
pernah ada keluhan sama sekali tentang sekolahnya. Tiap pagi, dia akan dengan
riang gembira bangun pagi dan menunggu mobil jemputan di depan rumah bersama
kakaknya. Setahun berlalu, Hafizh masuk ke SD di lingkungan sekolah yang sama
dengan TK-nya.
Kini, Ibu Lina menghadapi kenyataan bahwa prestasi
Hafizh tidak secemerlang kakak-kakaknya. Padahal Ibu Lina yakin Hafizh pasti
bukan anak yang bodoh. Hafizh melewati masa kecilnya dengan normal. Kemampuan
psikomotornya berkembang sesuai standar yang diharapkan. Di rumah dia suka
bermain seperti anak-anak lainnya. Tidak pernah menyendiri.
Dari kejadian itu, Ibu Lina menyimpulkan bahwa
kemampuan akademik pada anak mungkin berbeda-beda. Ada anak yang cepat
menangkap suatu pelajaran dan ada yang lambat. Nah yang lambat itu mungkin
seperti Hafizh ini, begitu pikir Ibu Lina. Untunglah Ibu Lina bukan orang yang
memaksakan kehendak. Ketika sampai di rumah dan hatinya tenang, ia bertekad
untuk menerima dengan ikhlas serendah apa pun prestasi Hafizh. Ibu Lina tidak
akan memaksakan sesuatu yang Hafizh tidak mampu. Ibu Lina akan menerima dan
menyayangi Hafizh apa adanya. Dipeluknya Hafizh dalam dekapan yang disambut
pelukan Hafizh yang merasa senang diperhatikan ibunya.
Anak
Sebagai Anugerah Allah swt.
Anak merupakan titipan Tuhan kepada orang tuanya. Ia
bukanlah manusia berwujud lebih kecil dari orang dewasa. Ia bagaikan kertas
putih bersih yang belum berisi tulisan apapun. Bagaimana orang tua mengasuh dan
mendidiknya, maka itulah yang akan mewarnai dirinya. Imam al-Ghazali dalam buku Ihya Ulumiddin pernah menuliskan, “Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya binatang, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan mengajari akhlak yang baik."
Meski begitu, Allah swt. sudah menyimpan berbagai
potensi di dalam diri anak yang apabila orang tua mampu memunculkan dan
mengarahkan dengan tepat maka itu akan menjadi modal bagi anak untuk menjalani
kehidupannya. Dalam Islam, potensi-potensi dasar pada manusia itu disebut juga dengan
hidayah.Tingkatan-tingkatan hidayah ini telah banyak dibahas orang termasuk di internet.
-
Hidyah
Ilham (Insting)
Manusia diberi kemampuan
insting oleh Allah swt. sebagai modal awal dalam menjalani kehidupannya.
Sebetulnya potensi ini tidak hanya diberikan kepada manusia tapi juga kepada
hewan. Contohnya, keinginan untuk makan jika lapar, menghindar jika menghadapi
sesuatu yang menakutkan, keinginan bahagia, keinginan disayang, dll.
-
Hidayah
Hawasi (Indera)
Selanjutnya
manusia diberi panca indera oleh Allah swt. Dengan indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap dan perasa, manusia bisa berkembang dengan
cara belajar dari apa yang dilihat, didengar, dicium, dikecap dan dirasakannya.
-
Hidayah
Aqli (Akal Pikiran)
Potensi inilah
yang membedakan manusia dan hewan. Hanya manusia yang diberi akal sedangkan
hewan tidak. Dengan potensi akal inilah manusia bisa belajar dan berpikir untuk
kemajuan dirinya.
-
Hidayah
Din (Agama)
Dengan potensi
ini manusia mendapat petunjuk dari Allah swt. melalui kitab-kitab dan para
rasul yang diutusnya sehingga manusia dapat hidup di jalan yang dikehendaki
oleh tuhannya.
-
Hidayah
Taufik
Manusia bisa
mendapatkan hidayah akal dan hidayah agama dengan cara belajar. Namun hidayah
taufik hanya akan diberikan oleh Allah swt. kepada setiap orang tergantung
kesungguhan dari orang itu dalam beramal.
Allah memberi modal pada orang tua supaya dapat mendidik anak |
Melihat bahwa Allah sudah
memberikan berbagai potensi kepada manusia, tentunya kita sebagai orang tua
jangan merasa pesimis dalam mendidik anak. Ditambah lagi sebenarnya Allah sudah
memberikan para orang tua modal juga dalam mendidik anak ini. Menurut DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad disebutkan bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus memiliki modal-modal sebagai berikut:
1. Ikhlas
Orang tua harus memiliki motivasi yang lurus dalam mendidik anak. Mendidik anak tidaklah gampang. Di dalamnya pasti banyak menghadapi masalah dan kesulitan. Namun jika orang tua memiliki rasa ikhlas ini, maka ia akan dengan rela menjalaninya sehingga proses mendidik anak akan terasa lebih ringan
2. Takwa
Saat mendidik anak, orang tua tentunya ingin menanamkan kebaikan seperti beribadah kepada tuhannya serta mengikuti perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Karena anak memiliki kemampuan untuk meniru, maka ketakwaan orang tua akan menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Jadi mengajarkan ketakwaan itu sendiri lebih gampang jika orang tuanya dahulu yang memiliki sifat takwa, bukan?
3. Ilmu
1. Ikhlas
Orang tua harus memiliki motivasi yang lurus dalam mendidik anak. Mendidik anak tidaklah gampang. Di dalamnya pasti banyak menghadapi masalah dan kesulitan. Namun jika orang tua memiliki rasa ikhlas ini, maka ia akan dengan rela menjalaninya sehingga proses mendidik anak akan terasa lebih ringan
2. Takwa
Saat mendidik anak, orang tua tentunya ingin menanamkan kebaikan seperti beribadah kepada tuhannya serta mengikuti perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Karena anak memiliki kemampuan untuk meniru, maka ketakwaan orang tua akan menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Jadi mengajarkan ketakwaan itu sendiri lebih gampang jika orang tuanya dahulu yang memiliki sifat takwa, bukan?
3. Ilmu
Saat ini ilmu tentang
pengasuhan anak (parenting) bisa didapat di mana-mana. Bisa dibaca dari buku
ataupun internet. Meskipun sebelum menikah kita tidak melalui sekolah menjadi
orang tua, namun anak yang sudah dianugerahkan Allah kepada orang tua harus
mendapatkan haknya akan pengasuhan dan pendidikan yang benar. Sehingga orang
tua mau tidak mau harus mencari tahu bagaimana memberikan pendidikan yang
terbaik pada anaknya.
Bagi orang Islam
tentunya rujukan utamanya adalah al qur’an dan hadits. Oleh karenanya, saya
dalam penulisan buku ini banyak mengutip ayat dan hadits sebagai sumber rujukan
dalam pendidikan anak-anak. Mudah-mudahan perhatian kita kepada sumber-sumber
yang datang dari Allah dan rasulnya ini menjadi modal yang mempermudah kita
dalam mendidik anak.
4. Sabar
Sabar mutlak harus ada saat orang tua mendidik anak. Anak adalah sosok yang baru belajar hidup di dunia ini. Kemampuannya pun masih jauh tertinggal dibanding orang tua. Orang tua tidak boleh membandingkan hal yang dilakukan oleh anak dengan yang dilakukan orang tua. Jika anak masih banyak melakukan kesalahan itu wajar karena mereka baru belajar. Orang tua mesti sabar dalam mengikuti perkembangan anaknya karena didikan biasanya tidak langsung jadi tampak di anak. Salah satu cara dalam pendidikan anak adalah dengan cara melakukan pembiasaan.
Pembiasaan menjadi sebuah cara yang efektif dalam
membentuk kepribadian anak. Melalui pembiasaan-pembiasaan baik dalam kehidupan
sehari-hari seperti bangun pagi, mencuci tangan sebelum makan, membereskan
mainan dan sebagainya akan membentuk anak menjadi pribadi yang disiplin,
menjaga kesehatan dan suka kebersihan.
5. Tanggung jawab
Banyak orang tua yang rela banting tulang mencari nafkah karena rasa tanggung jawab pada keluarganya. Mereka ingin memberikan yang terbaik pada keluarga yang dicintainya, termasuk ingin memberikan biaya untuk fasilitas pendidikan yang layak bagi anak-anaknya.
Rasulullah bersabda: “Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau
infakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan untuk orang
miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu; yang paling
besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu”. ~HR. Muslim
dari Abu Hurairah r.a.
Anak menjadi hiburan tapi juga tanggung jawab orang tua |
Melihat dari
modal-modal yang sudah diberikan Allah swt. kepada orang tua, tinggal orang tua mau atau tidak memunculkan modal dalam dirinya. Karena dengan modal-modal itu lah proses pendidikan anak akan jauh terasa lebih mudah.
Sebetulnya alangkah malunya orang tua jika tidak memiliki perhatian terhadap pendidikan anaknya. Dengan tingkah lakunya yang polos dan lucu, anak telah memberikan kebahagiaan kepada orang tua. Lantas kini sejauh mana orang tua memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak.
Sebetulnya alangkah malunya orang tua jika tidak memiliki perhatian terhadap pendidikan anaknya. Dengan tingkah lakunya yang polos dan lucu, anak telah memberikan kebahagiaan kepada orang tua. Lantas kini sejauh mana orang tua memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak.
Dalam Al Qur’an,
Allah swt. telah memberikan petunjuk untuk apa orang tua mesti melakukan
pendidikan terhadap anaknya.
“Hai
orang-orang yang beriman, perihalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (Qs. At Tahrim: 6)
Artinya orang
tua mesti memiliki target bagi keluarga, termasuk dalam hal ini anak-anaknya
bagaimana supaya hidupnya memiliki keimanan kepada Allah swt., melakukan
perintah-perintah tuhannya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta memiliki
akhlak yang baik. Tentu anak tidak akan serta merta menjalani hidup seperti
seharusnya jika orang tua tidak pernah mengajarkannya.
Dalam hal
pengajaran ini kita dapat meniru orang shaleh Lukmanul Hakim dalam memberikan
pengajaran pada anaknya seperti yang telah diceritakan oleh Allah swt. dalam Al
Qur’an.
“(Luqman
berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs.Luqman: 16-18)
Subhanallah,
betapa lemah lembutnya ucapan-ucapan Luqmanul Hakim. Beliau memanggil anaknya
dengan sebutan “bunnaya”, yang berarti panggilan anak dengan rasa sayang.
Mungkin kalau kita bisa menggantinya dengan panggilan sayang kita sendiri
seperti: Anak Shaleh Ayah, My Sweetheart, Cinta Ibu, Kesayangan Bunda, dan lain-lain. Di dalam
ucapan-ucapannya pun tersirat pendidikan mulai dari pendidikan keimanan, amal
shaleh hingga akhlak.
Jadi sebetulnya
orang tua sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak memberikan perhatian serius
pada anaknya. Toh, para orang tua di jaman dahulu pun tidak kalah hebatnya
dalam mendidik anak sehingga terlahir manusia-manusia hebat sepanjang sejarah.
Rahasia
Sukses Mendidik Anak
Alia merasa
dalam posisi terjepit. Mia, anak semata wayangnya tengah melancarkan perang
dingin pada ayahnya, Rudi. Alia melihat sendiri pertengkaran antara Mia dan
Rudi yang berakhir pada perang dingin ini. Awalnya dimulai ketika Mia
menyampaikan keinginannya pada Alia untuk ikut bimbingan belajar karena akan
menghadapi SBMPTN.
“Bilang saja
pada ayahmu,” saran Alia.
Mia terlihat
ragu namun tak urung mengangguk juga. Namun apa jawaban Rudi ketika Mia
menyampaikan keinginannya itu.
“Boleh, tapi apa
jaminan kamu bakal menjalani bimbingan belajar ini dengan baik?” tegas Rudi.
Mia rupanya tahu
yang dimaksud ayahnya. Dia tergeragap dan langsung terlihat tegang. Melihat
sikap anaknya, Rudi langsung menambahkan,
“Papa selalu
memberikan yang terbaik buat kamu. Waktu kamu menjelang UN, Papa memasukkan
kamu ke bimbingan belajar terbaik. Namun, tiap bulan Papa selalu menerima
laporan absen kamu dari bimbingan belajar. Waktu kamu ingin kursus bahasa Korea,
Papa daftarin. Sekarang mana ijazahnya sebagai bukti kamu telah menyelesaikan kursus dengan baik?” pandang
Rudi dengan tajam.
Mia terlihat
tambah tidak berdaya. Dia terlihat marah dan beranjak ke kamarnya.
Dalam kondisi
seperti ini Alia lebih baik berdiam diri. Alia tahu, Rudi sedang menerapkan
aturan dan didikan pada Mia. Jika Alia ikut campur, bisa jadi Rudi tambah
marah. Meskipun dalam hati yang paling dalam, Alia sebetulnya kasihan pada Mia.
Alia pikir, jika Rudi hendak menerapkan aturan janganlah di kondisi segenting
ini. Mia kan mau menghadapi SBMPTN. Suatu momen penting untuk masa depannya.
Tidak bisakah Rudi mengalah untuk yang ini saja? Begitu pikir Alia. Tapi Alia
tahu jawabannya. Sekali Rudi bilang ‘tidak’, dia akan tetap bilang ‘tidak’.
Benar saja.
Ketika Alia menyampaikan keberatannya atas sikap Rudi, ini dia jawaban Rudi,
“Pendidikan anak
itu bukan soal harus sekolah atau kuliah saat ini juga. Papa tidak masalah jika
Mia gagal kuliah tahun ini karena tidak ikut bimbingan belajar. Tapi Papa nggak
rela jika Mia gagal menjadi orang yang paham bahwa segala kemudahan itu harus
dihargai. Segala fasilitas itu harus disyukuri dengan dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Mia sudah mencapai umur baligh. Dia harus mulai berpikir
seperti orang dewasa.”
Kali ini Alia benar-benar terdiam. Selain Alia mulai bisa memahami pendapat Rudi, Alia menghormati
betul posisi Rudi sebagai kepala keluarga di rumahnya.
A. Memahami
Konsep Rumah Tangga dalam Islam
Dalam
hal pendidikan anak ini, saya mencoba membahas sedikit tentang konsep rumah tangga dalam Islam. Tujuannya supaya
antara suami dan isteri selaku orang tua dari sang anak tidak saling
mengandalkan dalam soal mendidik anak. Namun hendaknya terjadi sinergi antara
keduanya sehingga bisa maksimal dalam mendidik anak.
Terlebih
dahulu, mari kita lihat ayat dan hadits di bawah ini:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka)...” (Qs. Annisa: 34)
“Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.
Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang
suami adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai
pertanggungjawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan
akan dimintai pertanggungjawabannya...” (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Qs.Al Baqarah: 233)
Dari
ayat-ayat dan hadist di atas jelas sekali tertera bahwa laki-laki menjadi
pemimpin bagi perempuan. Tentunya termasuk dalam rumah tangga laki-laki
berkedudukan sebagai kepala keluarga. Sedangkan perempuan menjadi pemimpin di
rumah suaminya dalam pengelolaan rumah tangga. Dan untuk hal-hal yang mesti
dilakukan dalam rumah tangga maka Allah menyuruh suami dan isteri untuk
bermusyawarah sehingga keduanya sama-sama rela.
Pendidikan anak tanggung jawab orang tuanya |
Dalam
hal pendidikan anak ini, sebenarnya pendidikan menjadi tanggung jawab kedua
orang tua. Namun jika melihat faktor kelekatan janin, bayi dan anak balita kepada ibunya, maka
untuk pendidikan anak tahap pertama tentu tanggung jawab ini diarahkan kepada
ibunya. Ibu yang mengandung, menyusui dan memiliki tanggung jawab di dalam rumah lebih memungkinkan
untuk dekat dengan anaknya. Kesempatan inilah yang jangan sampai disia-siakan
dalam proses pendidikan anak. Sedangkan bagi anak-anak yang sudah besar,
pendidikan bisa mulai diberikan oleh ayahnya. Sang ayah bisa memberikan
pengajaran-pengajaran kepada anak-anak yang mulai sempurna akalnya.
Allah
sebetulnya tidak hendak memberatkan suami atau isteri. Keduanya tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Sehingga hal-hal teknis bisa
dimusyawarahkan bagaimana pelaksanaannya. Seperti misalnya pendidikan anak,
memang itu tanggung jawab orang tua. Namun dalam teknisnya tentu seorang ayah
dan ibu ada yang tidak bisa sepenuhnya mengajar semua ilmu pengetahuan pada
anak. Sehingga untuk hal itu orang tua melimpahkannya pada institusi sekolah. Tapi harus diingat, ketika orang tua melimpahkan tanggung jawab pendidikan akademik
pada sekolah bukan berarti tanggung jawab pendidikan seluruhnya diberikan pada
sekolah. Sekolah atau bimbingan belajar itu hanyalah alat bantu.
Memang ayat di atas berkenaan dengan musyawarah suami isteri dalam hal proses menyusui dan menyapih anak. Tapi menurut saya, ayat al qur’an tersebut relevan juga bagi keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan permasalahan keluarga.
Memang ayat di atas berkenaan dengan musyawarah suami isteri dalam hal proses menyusui dan menyapih anak. Tapi menurut saya, ayat al qur’an tersebut relevan juga bagi keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan permasalahan keluarga.
B. Ikhlas
Menerima Anak
Anak
akan sukses dididik jika orang tua menerima dengan ikhlas keberadaan anak. Akan
sulit terbentuk kepribadian yang baik pada anak jika anak mengetahui kalau orang
tuanya tidak mengharapkan dirinya. Penerimaan orang tua kepada anak termasuk
seluruh keadaan yang ada pada diri anak akan menumbuhkan rasa percaya diri anak
bahwa dirinya orang yang berharga sehingga berhak untuk menjalani hidup dengan
percaya diri.
Rasulullah saw. pernah bersabda :
“Barangsiapa yang tidak mengakui anaknya untuk menghinakannya di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya di hari Kiamat dihadapan seluruh makhluk. Balasan yang setimpal dengan perbuatannya”
Harus dihindari juga sikap menuntut orang tua pada anak. Tuntutan orang tua yang terus menerus akan membuat anak kehilangan kepercayaan dirinya. Anak akan merasa orang tua tidak bisa menerima dirinya apa adanya karena selalu meminta kepada anak sesuatu yang belum ada pada anak.
Rasulullah saw. pernah bersabda :
“Barangsiapa yang tidak mengakui anaknya untuk menghinakannya di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya di hari Kiamat dihadapan seluruh makhluk. Balasan yang setimpal dengan perbuatannya”
Harus dihindari juga sikap menuntut orang tua pada anak. Tuntutan orang tua yang terus menerus akan membuat anak kehilangan kepercayaan dirinya. Anak akan merasa orang tua tidak bisa menerima dirinya apa adanya karena selalu meminta kepada anak sesuatu yang belum ada pada anak.
C. Tawakal
kepada Allah
“...Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs. At Talaq: 3)
Salah
satu rukun iman itu adalah iman kepada takdir atau ketentuan Allah. Ketika
orang tua sudah berupaya optimal, maka mengenai hasilnya hendaklah bertawakal
kepada Allah. Mungkin ada yang bertanya, lantas untuk apa manusia beramal jika
hasil akhirnya ditentukan oleh Allah? Misalnya kita sudah melakukan berbagai
upaya untuk anak kita namun perubahan pada anak tidak terlihat.
Nah,
di sini orang tua harus berprasangka baik kepada Allah. Kita harus meyakini apa
yang ditakdirkan Allah kepada manusia adalah sebuah petunjuk yang mengarahkan
kepada kebaikan. Jika upaya orang tua untuk pendidikan anaknya menghasilkan
kegagalan, mungkin bagi orang tua saatnya mengevaluasi mungkin ada hal-hal yang
salah baik dalam motivasi orang tua maupun metode pendidikannya.
Kesalahan-kesalahan ini hendaklah menjadi momen taubat bagi orang tuanya untuk segera
meluruskan motivasi dalam mendidik anak, lebih meningkatkan lagi pengetahuan
tentang pendidikan anak, mengubah cara dalam mendidik anak, memindahkan dari
tempat yang dirasa kurang cocok ke tempat lain yang lebih baik dan hal-hal
lainnya berdasarkan hasil evaluasi. Mudah-mudahan efek dari taubatnya orang tua
ini menjadi wasilah bagi orang tua untuk mendapatkan kemudahan dan keberhasilan
dari Allah swt.
Gadget sebagai salah satu yang mesti diwaspadai dalam pendidikan anak |
Hal-hal
yang Harus Diperhatikan Saat Mendidik Anak
Hafizh tumbuh menjadi
anak yang penyayang. Sikap pengalah dan menjauhi konflik membuat dia tidak
pernah memiliki musuh sekaligus sering dimanfaatkan oleh teman-temannya. Di
sekolahnya, ibu guru suka menggilir anak-anak menjadi ketua kelompok belajar
atau tugas. Saat Hafizh terpilih menjadi ketua kelompok, maka daripada ia harus
membagi-bagi tugas dan menyuruh anggota kelompoknya mengerjakan, Hafizh lebih
memilih mengerjakan semua tugas-tugas itu.
Mendengar cerita
tentang Hafizh dari Ibu guru, perasaan Ibu Lina terharu sekaligus prihatin.
Terharu karena Hafizh ternyata anak yang baik dan prihatin karena Ibu Lina tahu
seharusnya Hafizh tidak mengerjakan tugas-tugas temannya. Berarti jiwa
kepemimpinan Hafizh harus dibangkitkan, begitu saran Ibu Guru.
Ternyata
karakter anak itu bisa muncul dalam bentuk prilaku positif sekaligus negatif,
Ibu Lina terus memikirkan ucapan-ucapan Ibu Guru. Prilaku negatif yang muncul bukan
untuk membuat kecewa namun menjadi pertanda bagi orang tuanya untuk melakukan
langkah pendidikan.
- Sifat Khas Setiap Anak
Setiap
anak memiliki kekhasan masing-masing sehingga penangannannya pun mesti
personal. Tidak bisa anak yang satu dibandingkan dengan anak yang lain walaupun
itu adik kakak. Apalagi jika dibandingkan dengan anak orang lain yang beda
keturunan, beda lingkungan dan beda didikan. Diharapkan pengenalan orang tua
yang intens kepada anaknya menjadi bahan saat melakukan pendekatan dan
pengajaran kepada anak. Contohnya anak yang karakternya aktif dan gerak
tubuhnya sangat cepat tidak bisa dilarang-larang untuk berdiam diri lama-lama.
Orang tua harus mengerti betul karakter anaknya sehingga pola pengajarannya
disesuaikan dengan keadaan anak. Dengan perhatian ini mudah-mudahan hasilnya
akan lebih maksimal.
- Pengaruh orang-orang terdekat
Manusia
memang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan termasuk orang tua. Orang tua
mesti menyadari betul kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya sehingga
semenjak memiliki anak berusaha keras untuk meminimalisasi kelemahannya
tersebut. Setidaknya tidak menampakan di hadapan anak yang berakibat ditiru
oleh anak. Misalnya ayah memiliki kebiasaan merokok. Sedapat mungkin kalau ayah
belum bisa menghentikannya, cobalah untuk tidak merokok di depan anaknya.
Demikian pula dengan lingkungan rumah, teman dan sekolah. Kelemahan-kelemahan yang ada pada kakaknya sang anak atau keluarga lainnya yang tinggal bersama kita tidak dicontoh oleh anak kita. Misalnya kelemahan kakak itu masih sering keceplosan berkata kasar. Nah, bagaimana supaya hal itu tidak menular pada adiknya. Demikian pula pengaruh kelemahan yang ada pada teman-teman sang anak atau gurunya bisa dikurangi dengan kita sering mengajak dialog anak kita.
Demikian pula dengan lingkungan rumah, teman dan sekolah. Kelemahan-kelemahan yang ada pada kakaknya sang anak atau keluarga lainnya yang tinggal bersama kita tidak dicontoh oleh anak kita. Misalnya kelemahan kakak itu masih sering keceplosan berkata kasar. Nah, bagaimana supaya hal itu tidak menular pada adiknya. Demikian pula pengaruh kelemahan yang ada pada teman-teman sang anak atau gurunya bisa dikurangi dengan kita sering mengajak dialog anak kita.
-
Pengaruh Negatif dari Luar
Seperti
kita ketahui bersama jika perkembangan teknologi saat ini demikian pesat. Yang
dulu tayangan televisi hanya terbatas, sekarang informasi apapun bisa diakses
dengan mudah. Telepon genggam, media sosial, budaya asing sedemikian mudah
dilihat dan mempengaruhi anak-anak kita. Karenanya bagaimana caranya supaya
orang tua bisa terus melakukan monitoring dan controling terhadap anak. Orang
tua tidak mungkin melarang-larang anaknya untuk tidak menonton tayangan-tayangan
di internet atau televisi dan berinteraksi di dunia maya. Saat ini, PR
anak-anak pun banyak yang dibagikan gurunya melalui media sosial seperti Line.
Tugas-tugas dikumpulkan melalui email. Jadi bagaimana mungkin tidak
memperbolehkan anak membuka internet?
Jadi jalan satu-satunya adalah kembali kepada fungsi
dan tugas orang tua dalam mendidik anak. Orang tua tidak bisa setengah-setengah
dalam pendidikan anak ini. Tapi betul-betul harus menjadi tanggung jawab utama.
Karena jika orang tua menyepelekan pendidikan anaknya, maka orang tua pula yang
akan terkena dampaknya. Tidak sekarang, mungkin di waktu yang akan datang.
#BlogtoBook
Catatan: Ini baru isi bab 1. InsyaAllah masih dalam tahap revisi. Masih banyak yang harus diubah. Bab-bab berikutnya saya ingin bisa menuturkan seperti buku parenting Ayah Edy yang memberikan banyak contoh, lebih ringan dibaca tapi tetap memberikan pencerahan.
mantapbh
BalasHapusMakasiiih... :D
HapusIni calon buku? Waa ga sabar nunggu bab-bab selanjutnya... Bab pertamanya aja udah jleb bgt...
BalasHapusIya, Mba insyaAllah ini baru bab 1. Mudah-mudahan saya bisa lancar nulisnya. Mohon doanya saja :)
HapusSemangat mbak..ceritanya udah ngalir :)
BalasHapusHihi..iya gitu? Makasih yah :)
Hapuspengaruh orang terdekat termasuk keluarga besar ya, mba Yas.
BalasHapusYa betul, Mba :)
HapusNgebayangin entar pas jadi buku, ini bisa jadi kado bagus buat yang baru menikah :)
BalasHapusAamiin...Mudah-mudahan bukunya bisa jadi ya, Mba :)
Hapus