Senin, 17 April 2017

Memperlakukan Anak Sebagai Tawanan



Senin pagi tadi saya mulai dengan emosi 'agak' meninggi 😜. Udah cucian numpuk pasca liburan long weekend, mesin cuci macet, eh... PR Abang yang dari kemarin malam terus dibilangin ternyata belum kunjung dikerjakan 😞.
Kemarahan saya berlipat karena untuk kesekian kalinya, Abang tidak pernah bilang atau mengaku ada PR. Jadi, saya tidak akan tahu ada PR jika saja saya atau orang tua temannya tidak bertanya pada Ibu Wali Kelas di grup WA.
Tugasnya hari ini adalah membuat kliping tentang Masalah Sosial di Masyarakat. Ok, untung saja saya berlangganan koran. Saya kasih setumpuk koran ke Abang untuk mencari sendiri. Sementara saya kembali ke dapur menyiapkan bekal Adik.
Apa yang terjadi?
Ternyata Abang malah sedang membaca kolom suplemen komik Yayat Ceking 😧.
Baiklah, rupanya dalam hal ini Abang memang belum bisa dilepas. Akhirnya saya bantu Abang mencari artikel yang dimaksud. Berhasil. Saya perlihatkan ke Abang. Abang setuju, kemudian menggunting sisi artikelnya dan menempelkan di kertas HVS.
Beres, pikir saya sembari membereskan tumpukan koran.
"Jangan dibereskan dulu, Bu," cegah Abang. "Klipingnya harus 5 artikel."
WHAT?!!! 😤
Hah...sudahlah. Daripada marah-marah lebih baik lanjut saja nyari artikel lainnya. Saya pun berhasil menemukan 2 artikel lagi dan Abang menemukan 2 artikel lainnya.
Setelah Abang berangkat sekolah, seperti biasa saya curhat ke suami soal kekesalan saya pagi ini. Obrolan pun mengarah pada ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang pendidikan anak.
Saya kutip kembali ucapannya
ya.
Menurut Ali bin Abi Thalib Ra. ada tiga pengelompokkan dalam cara memperlakukan anak:
1. Kelompok 7 tahun pertama (usia 0-7 tahun), perlakukan anak sebagai raja.
2. Kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan.
3. Kelompok 7 tahun ketiga (usia 15-21 tahun), perlakukan anak sebagai sahabat.
Untuk kelompok pertama, saya pernah membahasnya DI SINI.
Nah karena saat ini Abang berusia 10 tahun, berarti dia masuk kelompok 2. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, sesungguhnya setiap kejadian itu tidak ada yang sia-sia jika kita beriman pada takdir. Dan takdir itu akan menjadi baik jika kita berserah pada Allah. Saya tersadar, melalui kejadian ini ternyata saya jadi bisa menggali lebih dalam kenapa anak di usia 8 - 14 tahun harus diperlakukan sebagai tawanan.
Mendengar kata ‘tawanan’ lantas saja saya teringat orang yang dipenjara. Kenapa orang tersebut dipenjara? Pasti jawabannya adalah karena dia memiliki kesalahan. Jadi, penjara merupakan hukuman bagi orang yang bersalah. Jujur, saya lebih setuju dengan istilah ‘lembaga pemasyarakatan’ ketimbang kata ‘penjara’. Lembaga pemasyarakatan lebih berkonotasi mendidik dibandingkan dengan menghukum. Orang berbuat kesalahan di masyarakat bisa jadi karena salah didikan. Dia melakukan kesalahan mungkin karena tidak tahu cara menempatkan diri di masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga untuk memasyarakatkan orang yang belum paham bermasyarakat tersebut. Orang yang berada di dalam kurungan Lembaga Pemasyarakatan harus mendapatkan didikan dan pengawasan secara terus menerus. Apa pun yang mereka lakukan harus dikontrol. Oleh karena itulah mereka ada di dalam lingkungan yang terkurung/tertawan (penjara).
Hihi...belibet gak sih? Terus apa hubungannya dengan bahasan tentang pendidikan anak usia 8-14 tahun versi Ali bin Abi Thalib r.a.?
Oke saya kembali ke kejadian Abang dan PR-nya itu. Sebetulnya jika saya memahami ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan kelompok 7 tahun kedua (usia 8-14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan, pagi itu saya tidak perlu merasa kesal hingga marah-marah. Dari keterangan itu sudah jelas bahwa anak rentang umur sekian memang harus dikontrol. Apa yang dilakukannya harus diawasi. Belum bisa dilepas begitu saja. Menyadari hal itu, aduuh…rasanya saya jadi malu. Mestinya saya berprasangka baik pada mereka dengan cara memahami posisi mereka saat ini.
Saya jadi ingat pada kakaknya yang saat ini menginjak usia 13 tahun. Saya selalu bilang padanya, "Kamu kan sudah SMP! Masa belum mengerti juga?" Saya melihat sikapnya sama! Tugas-tugasnya banyak yang susah kelar. Baik tugas sekolah maupun tugas di rumah. Konsentrasinya dengan enteng teralihkan pada hal-hal lain. Misalnya saja membereskan kamar. Kalau saya hanya menyuruh, tugasnya gak pernah selesai atau tidak kunjung dikerjakan. Tapi kalau saya mengajak bersama membereskan, ternyata dia mau juga.
Ternyata pada dasarnya mereka itu mau dan mampu melakukan tugasnya. Namun karena faktor perkembangan psikologi mereka saat ini, membuat mereka seperti sulit melakukannya. Dan tentu saja mereka butuh bantuan kita sebagai orang tua untuk menjadikan pembiasaan-pembiasaan yang kita tanamkan sebagai sikap hidup mereka. Oleh karenanya, terus didik mereka, pantau, bantu dan beri kepercayaan mereka dengan berprasangka baik. Mudah-mudahan di usia 15 tahun, mereka akan menjadi sahabat atau patner hidup kita dalam mengarungi kehidupan ini.
Hmm...jadi itu ya maksudnya perlakukan anak sebagai tawanan ðŸ˜‚


16 komentar:

  1. Bener banget, mba Yas. Ini aku banget ke Fikri yang usianya sama dengan Abang. Pantas saja saya masih suka ngomel-ngomel sama dia karena sering mengulang kesalahan. Karena saya menganggap dia sudah besar dan harus mandiri. Ternyata harus tetap dalam pengawasan ya. Nice writing, Mba. Ma kasih infonya yaaa.. jadi terbuka mata hati saya buat memperbaiki cara mendidik ke Fikri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi...sama aku juga masih banyak salah2 😅

      Hapus
  2. Aku belom punya anak sih Mak, tapi coba aku terapin ke adek2 ku. Terima kasih atas pengetahuannya, nice sharing :)

    BalasHapus
  3. Thx Mba.. Tulisannya jadi pengingatnya saya. Berarti saya masih harus perlakukan anak sebagai "raja". Nanti saya mampir jg ke tulisan yg itu ah ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2. Jgn lupa dibaca ya tulisan ttg rajanya 😉

      Hapus
  4. Kalau anak saya masih masuk dalam kelompok 1 mba, masih kategori raja ya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya,tapi bukan berarti dimanjain lho 😉

      Hapus
  5. Yg kategori 1, walopun diperlakukan sebagai raja, tp sbnrnya ttp kita ksh tau kan ya mba? Soalnya abang iparku nerapin ini mndidik anaknya. Tp tuh anak dibiarin samasekali, ga ada dimarahin/diksh tau yg tegas walo dia nakalnya luar biasa. Mukulin mamanya, mukulin pembantu, anakku didorong, aku jg prnh dipukul ama pedang2an dia. Waah kalo aku lgs aku marahin anaknya.. Apalagi pas anakku didorong ampe nangis. Kok ya aku kuatir kalo cuma didiemin tnoa diksh tau kalo itu salah, dia makin menjadi dan malah susah diatur pas udh gedean :(

    Tp ntahlah.. Moga2 tuh anak beneran bisa berubah.. Aku sendiri terbiasa tegas ama anak. Walo msh kategori Raja, tp kalo dia nakal aku tegur. Memang sih kdg msh kelepasan juga mba marah2.. Duuh itu susah kadang ngontrolnya apalagi kalo kitanya sendiri lg capek, dan anak2 bikin ulah pula :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi...udah baca ya tulisan "raja" nya 😉

      Hapus
  6. Makasih ya mbaaa... Aku dari 0 berusaha nggak emosi tapi semenjak ada adiknya nih hampir setahunan jadi sumbu pendek :)) pas awal2. Hmmm meski sebagai raja, anak2 teteup bisa dikasih tau ya mba, karena mereka pintar ^^ aku ke tkp kelompok pertama dulu :)

    BalasHapus
  7. Baiklah. Ada 2 tahanan di rumah. Dan 3 raja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkwk...suruh para tahanannya bantu melayani raja :))

      Hapus
  8. Hi, salam perkenalan dari Malaysia.. Jemput join dalam segmen bloglist saya ya http://ameridzuan.blogspot.my/2017/05/the-amerzing-bloglist.html

    BalasHapus

Terima kasih sudah meninggalkan jejak :)