Senin, 14 November 2016

Konsep Pendidikan Anak Secara Islam



Tubuh Ibu Lina (bukan nama sebenarnya) seperti tersengat listrik saat ibu guru menyampaikan kalau Hafizh (bukan nama sebenarnya) mendapat peringkat kedua dari akhir di kelasnya. Ibu merasa menyesal karena sudah menanyakan peringkat Hafizh di kelas. Format raport sekarang memang tidak memberikan informasi tentang peringkat anak. Menurut ibu guru kebijakan tidak mencantumkan peringkat di raport ini untuk menghindari rasa rendah diri pada anak-anak yang mendapat peringkat rendah. Apalagi Hafizh baru menginjak kelas 1 SD. Rasanya kurang bijaksana jika baru saja memasuki lingkungan sekolah dasar langsung mendapat cap bodoh di kelas. Namun jika orang tua membutuhkan informasi, dipersilakan untuk bertanya langsung pada ibu guru.

Ibu  Lina terkaget-kaget karena selama dia mengambil raport kakak-kakaknya Hafizh, dia selalu mendapat kabar yang menyenangkan.Tiap semester, kedua kakak Hafizh tidak pernah keluar dari peringkat 5 di kelasnya.

Apa yang salah dengan anak ini? Pikir Ibu Lina. Batin Ibu Lina penuh dengan kekecewaan. Dipandanginya Hafizh saat pulang dari sekolah. Hafizh anaknya cenderung pendiam dan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru. Ketika TK, Hafizh pernah mogok sekolah karena mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. Ibu Lina dan suami membujuk Hafizh dengan  segala cara. Hafizh dijanjikan hadiah jika mau sekolah. Sekolah pun akan diantar dan ditungguin sampai selesai oleh Ibu Lina. Tapi Hafizh tetap bergeming tidak mau sekolah. Ketika sang ayah memaksa Hafizh berangkat sekolah dengan menggendongnya, Hafizh berontak dan menangis meraung-raung.

Ibu Lina mencoba mengajak Hafizh bicara mengenai pentingnya sekolah bagi anak-anak dengan bahasa yang lembut.

“Kenapa Hafizh tidak mau sekolah? Semua anak sebesar Hafizh sekolah lho. Jika Hafizh sekarang di rumah, semua teman Hafizh ada di sekolah. Hafizh kan sama dengan anak-anak yang lain. Tidak berbeda,” bujuk Ibu.

Hafizh terdiam. Kemudian tanpa disangka ia mengusulkan sesuatu pada ibunya, “Kenapa Hafizh tidak sekolah di sekolah Kakak saja?”

“Hafizh mau sekolah di sekolah Kakak?” tanya Ibu memastikan.

“Mau.”

“Tapi, sekolah di sekolah kakak itu lama lho. Dari pagi hingga sore. Hafizh mau lama-lama di sekolah?”

“Mau, asal ada kakak.”

Kakak-kakak Hafiz belajar di satu sekolah bersistem full day school. Sekolah yang memiliki rentang belajar dari pukul 8.00 pagi hingga pukul 16.00. Mereka sekarang duduk di bangku SD. Di sekolah itu tersedia juga TK dan waktu belajarnya sama dari pagi hingga sore. Ibu Lina tidak memasukan Hafizh kesana dengan pertimbangan melihat karakter Hafizh yang pendiam dan sulit beradaptasi. Ibu Lina khawatir jika Hafizh sekolah di sana akan menimbulkan trauma karena untuk pertama kalinya jauh dari ibunya dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Sehingga Ibu Lina lebih memilih sekolah untuk Hafizh yang berada di dekat rumah dan waktu belajarnya hanya 3 jam saja.

Akhirnya ketika tahun ajaran baru, Hafizh memasuki TK B di sekolah barunya. Anehnya, semejak Hafizh sekolah di tempat baru, tidak pernah ada keluhan sama sekali tentang sekolahnya. Tiap pagi, dia akan dengan riang gembira bangun pagi dan menunggu mobil jemputan di depan rumah bersama kakaknya. Setahun berlalu, Hafizh masuk ke SD di lingkungan sekolah yang sama dengan TK-nya.

Kini, Ibu Lina menghadapi kenyataan bahwa prestasi Hafizh tidak secemerlang kakak-kakaknya. Padahal Ibu Lina yakin Hafizh pasti bukan anak yang bodoh. Hafizh melewati masa kecilnya dengan normal. Kemampuan psikomotornya berkembang sesuai standar yang diharapkan. Di rumah dia suka bermain seperti anak-anak lainnya. Tidak pernah menyendiri.

Dari kejadian itu, Ibu Lina menyimpulkan bahwa kemampuan akademik pada anak mungkin berbeda-beda. Ada anak yang cepat menangkap suatu pelajaran dan ada yang lambat. Nah yang lambat itu mungkin seperti Hafizh ini, begitu pikir Ibu Lina. Untunglah Ibu Lina bukan orang yang memaksakan kehendak. Ketika sampai di rumah dan hatinya tenang, ia bertekad untuk menerima dengan ikhlas serendah apa pun prestasi Hafizh. Ibu Lina tidak akan memaksakan sesuatu yang Hafizh tidak mampu. Ibu Lina akan menerima dan menyayangi Hafizh apa adanya. Dipeluknya Hafizh dalam dekapan yang disambut pelukan Hafizh yang merasa senang diperhatikan ibunya.



Anak Sebagai Anugerah Allah swt.

Anak merupakan titipan Tuhan kepada orang tuanya. Ia bukanlah manusia berwujud lebih kecil dari orang dewasa. Ia bagaikan kertas putih bersih yang belum berisi tulisan apapun. Bagaimana orang tua mengasuh dan mendidiknya, maka itulah yang akan mewarnai dirinya. Imam al-Ghazali dalam buku Ihya Ulumiddin pernah menuliskan, “Anak adalah amanah bagi kedua orang tuanya. Hatinya yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya. Jika dibiasakan pada kejahatan dan dibiarkan seperti dibiarkannya binatang, ia akan celaka dan binasa. Sedang memeliharanya adalah dengan upaya pendidikan dan mengajari akhlak yang baik."

Meski begitu, Allah swt. sudah menyimpan berbagai potensi di dalam diri anak yang apabila orang tua mampu memunculkan dan mengarahkan dengan tepat maka itu akan menjadi modal bagi anak untuk menjalani kehidupannya. Dalam Islam, potensi-potensi dasar pada manusia itu disebut juga dengan hidayah.Tingkatan-tingkatan hidayah ini telah banyak dibahas orang termasuk di internet.

-          Hidyah Ilham (Insting)

Manusia diberi kemampuan insting oleh Allah swt. sebagai modal awal dalam menjalani kehidupannya. Sebetulnya potensi ini tidak hanya diberikan kepada manusia tapi juga kepada hewan. Contohnya, keinginan untuk makan jika lapar, menghindar jika menghadapi sesuatu yang menakutkan, keinginan bahagia, keinginan disayang, dll.

-          Hidayah Hawasi (Indera)

Selanjutnya manusia diberi panca indera oleh Allah swt. Dengan indera penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap dan perasa, manusia bisa berkembang dengan cara belajar dari apa yang dilihat, didengar, dicium, dikecap dan dirasakannya.

-          Hidayah Aqli (Akal Pikiran)

Potensi inilah yang membedakan manusia dan hewan. Hanya manusia yang diberi akal sedangkan hewan tidak. Dengan potensi akal inilah manusia bisa belajar dan berpikir untuk kemajuan dirinya.

-          Hidayah Din (Agama)

Dengan potensi ini manusia mendapat petunjuk dari Allah swt. melalui kitab-kitab dan para rasul yang diutusnya sehingga manusia dapat hidup di jalan yang dikehendaki oleh tuhannya.

-          Hidayah Taufik

Manusia bisa mendapatkan hidayah akal dan hidayah agama dengan cara belajar. Namun hidayah taufik hanya akan diberikan oleh Allah swt. kepada setiap orang tergantung kesungguhan dari orang itu dalam beramal.



Allah memberi modal pada orang tua supaya dapat mendidik anak
Melihat bahwa Allah sudah memberikan berbagai potensi kepada manusia, tentunya kita sebagai orang tua jangan merasa pesimis dalam mendidik anak. Ditambah lagi sebenarnya Allah sudah memberikan para orang tua modal juga dalam mendidik anak ini. Menurut DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad disebutkan bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus memiliki modal-modal sebagai berikut:
1. Ikhlas
Orang tua harus memiliki motivasi yang lurus dalam mendidik anak. Mendidik anak tidaklah gampang. Di dalamnya pasti banyak menghadapi masalah dan kesulitan. Namun jika orang tua memiliki rasa ikhlas ini, maka ia akan dengan rela menjalaninya sehingga proses mendidik anak akan terasa lebih ringan
2. Takwa
Saat mendidik anak, orang tua tentunya ingin menanamkan kebaikan seperti beribadah kepada tuhannya serta mengikuti perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Karena anak memiliki kemampuan untuk meniru, maka ketakwaan orang tua akan menjadi tauladan bagi anak-anaknya. Jadi mengajarkan ketakwaan itu sendiri lebih gampang jika orang tuanya dahulu yang memiliki sifat takwa, bukan?
3. Ilmu

Saat ini ilmu tentang pengasuhan anak (parenting) bisa didapat di mana-mana. Bisa dibaca dari buku ataupun internet. Meskipun sebelum menikah kita tidak melalui sekolah menjadi orang tua, namun anak yang sudah dianugerahkan Allah kepada orang tua harus mendapatkan haknya akan pengasuhan dan pendidikan yang benar. Sehingga orang tua mau tidak mau harus mencari tahu bagaimana memberikan pendidikan yang terbaik pada anaknya.

Bagi orang Islam tentunya rujukan utamanya adalah al qur’an dan hadits. Oleh karenanya, saya dalam penulisan buku ini banyak mengutip ayat dan hadits sebagai sumber rujukan dalam pendidikan anak-anak. Mudah-mudahan perhatian kita kepada sumber-sumber yang datang dari Allah dan rasulnya ini menjadi modal yang mempermudah kita dalam mendidik anak.
4. Sabar
Sabar mutlak harus ada saat orang tua mendidik anak. Anak adalah sosok yang baru belajar hidup di dunia ini. Kemampuannya pun masih jauh tertinggal dibanding orang tua. Orang tua tidak boleh membandingkan hal yang dilakukan oleh anak dengan yang dilakukan orang tua. Jika anak masih banyak melakukan kesalahan itu wajar karena mereka baru belajar. Orang tua mesti sabar dalam mengikuti perkembangan anaknya karena didikan biasanya tidak langsung jadi tampak di anak. Salah satu cara dalam pendidikan anak adalah dengan cara melakukan pembiasaan.

Pembiasaan menjadi sebuah cara yang efektif dalam membentuk kepribadian anak. Melalui pembiasaan-pembiasaan baik dalam kehidupan sehari-hari seperti bangun pagi, mencuci tangan sebelum makan, membereskan mainan dan sebagainya akan membentuk anak menjadi pribadi yang disiplin, menjaga kesehatan dan suka kebersihan.
 
5. Tanggung jawab
Banyak orang tua yang rela banting tulang mencari nafkah karena rasa tanggung jawab pada keluarganya. Mereka ingin memberikan yang terbaik pada keluarga yang dicintainya, termasuk ingin memberikan biaya untuk fasilitas pendidikan yang layak bagi anak-anaknya.
 Rasulullah bersabda: “Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau infakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan untuk orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu; yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu”. ~HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a.


Anak menjadi hiburan tapi juga tanggung jawab orang tua


Melihat dari modal-modal yang sudah diberikan Allah swt. kepada orang tua, tinggal orang tua mau atau tidak memunculkan modal dalam dirinya. Karena dengan modal-modal itu lah proses pendidikan anak akan jauh terasa lebih mudah. 
Sebetulnya alangkah malunya orang tua jika tidak memiliki perhatian terhadap pendidikan anaknya. Dengan tingkah lakunya yang polos dan lucu, anak telah memberikan kebahagiaan kepada orang tua. Lantas kini sejauh mana orang tua memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak.

Dalam Al Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk untuk apa orang tua mesti melakukan pendidikan terhadap anaknya.

“Hai orang-orang yang beriman, perihalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (Qs. At Tahrim: 6)

Artinya orang tua mesti memiliki target bagi keluarga, termasuk dalam hal ini anak-anaknya bagaimana supaya hidupnya memiliki keimanan kepada Allah swt., melakukan perintah-perintah tuhannya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, serta memiliki akhlak yang baik. Tentu anak tidak akan serta merta menjalani hidup seperti seharusnya jika orang tua tidak pernah mengajarkannya.

Dalam hal pengajaran ini kita dapat meniru orang shaleh Lukmanul Hakim dalam memberikan pengajaran pada anaknya seperti yang telah diceritakan oleh Allah swt. dalam Al Qur’an.

“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs.Luqman: 16-18)

Subhanallah, betapa lemah lembutnya ucapan-ucapan Luqmanul Hakim. Beliau memanggil anaknya dengan sebutan “bunnaya”, yang berarti panggilan anak dengan rasa sayang. Mungkin kalau kita bisa menggantinya dengan panggilan sayang kita sendiri seperti: Anak Shaleh Ayah, My Sweetheart, Cinta Ibu, Kesayangan Bunda, dan lain-lain. Di dalam ucapan-ucapannya pun tersirat pendidikan mulai dari pendidikan keimanan, amal shaleh hingga akhlak.

Jadi sebetulnya orang tua sudah tidak punya alasan lagi untuk tidak memberikan perhatian serius pada anaknya. Toh, para orang tua di jaman dahulu pun tidak kalah hebatnya dalam mendidik anak sehingga terlahir manusia-manusia hebat sepanjang sejarah.



Rahasia Sukses Mendidik Anak
 Alia merasa dalam posisi terjepit. Mia, anak semata wayangnya tengah melancarkan perang dingin pada ayahnya, Rudi. Alia melihat sendiri pertengkaran antara Mia dan Rudi yang berakhir pada perang dingin ini. Awalnya dimulai ketika Mia menyampaikan keinginannya pada Alia untuk ikut bimbingan belajar karena akan menghadapi SBMPTN.

“Bilang saja pada ayahmu,” saran Alia.

Mia terlihat ragu namun tak urung mengangguk juga. Namun apa jawaban Rudi ketika Mia menyampaikan keinginannya itu.

“Boleh, tapi apa jaminan kamu bakal menjalani bimbingan belajar ini dengan baik?” tegas Rudi.

Mia rupanya tahu yang dimaksud ayahnya. Dia tergeragap dan langsung terlihat tegang. Melihat sikap anaknya, Rudi langsung menambahkan,

“Papa selalu memberikan yang terbaik buat kamu. Waktu kamu menjelang UN, Papa memasukkan kamu ke bimbingan belajar terbaik. Namun, tiap bulan Papa selalu menerima laporan absen kamu dari bimbingan belajar. Waktu kamu ingin kursus bahasa Korea, Papa daftarin. Sekarang mana ijazahnya sebagai bukti kamu telah menyelesaikan kursus dengan baik?” pandang Rudi dengan tajam.

Mia terlihat tambah tidak berdaya. Dia terlihat marah dan beranjak ke kamarnya.

Dalam kondisi seperti ini Alia lebih baik berdiam diri. Alia tahu, Rudi sedang menerapkan aturan dan didikan pada Mia. Jika Alia ikut campur, bisa jadi Rudi tambah marah. Meskipun dalam hati yang paling dalam, Alia sebetulnya kasihan pada Mia. Alia pikir, jika Rudi hendak menerapkan aturan janganlah di kondisi segenting ini. Mia kan mau menghadapi SBMPTN. Suatu momen penting untuk masa depannya. Tidak bisakah Rudi mengalah untuk yang ini saja? Begitu pikir Alia. Tapi Alia tahu jawabannya. Sekali Rudi bilang ‘tidak’, dia akan tetap bilang ‘tidak’.

Benar saja. Ketika Alia menyampaikan keberatannya atas sikap Rudi, ini dia jawaban Rudi,

“Pendidikan anak itu bukan soal harus sekolah atau kuliah saat ini juga. Papa tidak masalah jika Mia gagal kuliah tahun ini karena tidak ikut bimbingan belajar. Tapi Papa nggak rela jika Mia gagal menjadi orang yang paham bahwa segala kemudahan itu harus dihargai. Segala fasilitas itu harus disyukuri dengan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Mia sudah mencapai umur baligh. Dia harus mulai berpikir seperti orang dewasa.”

Kali ini Alia benar-benar terdiam. Selain Alia mulai bisa memahami pendapat Rudi, Alia menghormati betul posisi Rudi sebagai kepala keluarga di rumahnya.

A.       Memahami Konsep Rumah Tangga dalam Islam

Dalam hal pendidikan anak ini, saya mencoba membahas sedikit tentang konsep  rumah tangga dalam Islam. Tujuannya supaya antara suami dan isteri selaku orang tua dari sang anak tidak saling mengandalkan dalam soal mendidik anak. Namun hendaknya terjadi sinergi antara keduanya sehingga bisa maksimal dalam mendidik anak.

Terlebih dahulu, mari kita lihat ayat dan hadits di bawah ini:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...” (Qs. Annisa: 34)

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang suami adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawabannya...” (H.R. Bukhari dan Muslim)

 “Para Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Qs.Al Baqarah: 233)

Dari ayat-ayat dan hadist di atas jelas sekali tertera bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan. Tentunya termasuk dalam rumah tangga laki-laki berkedudukan sebagai kepala keluarga. Sedangkan perempuan menjadi pemimpin di rumah suaminya dalam pengelolaan rumah tangga. Dan untuk hal-hal yang mesti dilakukan dalam rumah tangga maka Allah menyuruh suami dan isteri untuk bermusyawarah sehingga keduanya sama-sama rela.

Pendidikan anak tanggung jawab orang tuanya
Dalam hal pendidikan anak ini, sebenarnya pendidikan menjadi tanggung jawab kedua orang tua. Namun jika melihat faktor kelekatan janin, bayi dan anak balita kepada ibunya, maka untuk pendidikan anak tahap pertama tentu tanggung jawab ini diarahkan kepada ibunya. Ibu yang mengandung, menyusui dan memiliki tanggung jawab di dalam rumah lebih memungkinkan untuk dekat dengan anaknya. Kesempatan inilah yang jangan sampai disia-siakan dalam proses pendidikan anak. Sedangkan bagi anak-anak yang sudah besar, pendidikan bisa mulai diberikan oleh ayahnya. Sang ayah bisa memberikan pengajaran-pengajaran kepada anak-anak yang mulai sempurna akalnya.

Allah sebetulnya tidak hendak memberatkan suami atau isteri. Keduanya tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Sehingga hal-hal teknis bisa dimusyawarahkan bagaimana pelaksanaannya. Seperti misalnya pendidikan anak, memang itu tanggung jawab orang tua. Namun dalam teknisnya tentu seorang ayah dan ibu ada yang tidak bisa sepenuhnya mengajar semua ilmu pengetahuan pada anak. Sehingga untuk hal itu orang tua melimpahkannya pada institusi sekolah. Tapi harus diingat, ketika orang tua melimpahkan tanggung jawab pendidikan akademik pada sekolah bukan berarti tanggung jawab pendidikan seluruhnya diberikan pada sekolah. Sekolah atau bimbingan belajar itu hanyalah alat bantu. 
Memang ayat di atas berkenaan dengan musyawarah suami isteri dalam hal proses menyusui dan menyapih anak. Tapi menurut saya, ayat al qur’an tersebut relevan juga bagi keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan permasalahan keluarga.

B.      Ikhlas Menerima Anak

Anak akan sukses dididik jika orang tua menerima dengan ikhlas keberadaan anak. Akan sulit terbentuk kepribadian yang baik pada anak jika anak mengetahui kalau orang tuanya tidak mengharapkan dirinya. Penerimaan orang tua kepada anak termasuk seluruh keadaan yang ada pada diri anak akan menumbuhkan rasa percaya diri anak bahwa dirinya orang yang berharga sehingga berhak untuk menjalani hidup dengan percaya diri. 
 Rasulullah saw. pernah bersabda :
“Barangsiapa yang tidak mengakui anaknya untuk menghinakannya di dunia, niscaya Allah akan menghinakannya di hari Kiamat dihadapan seluruh makhluk. Balasan yang setimpal dengan perbuatannya”

Harus dihindari juga sikap menuntut orang tua pada anak. Tuntutan orang tua yang terus menerus akan membuat anak kehilangan kepercayaan dirinya. Anak akan merasa orang tua tidak bisa menerima dirinya apa adanya karena selalu meminta kepada anak sesuatu yang belum ada pada anak.

C.       Tawakal kepada Allah

“...Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs. At Talaq: 3)

Salah satu rukun iman itu adalah iman kepada takdir atau ketentuan Allah. Ketika orang tua sudah berupaya optimal, maka mengenai hasilnya hendaklah bertawakal kepada Allah. Mungkin ada yang bertanya, lantas untuk apa manusia beramal jika hasil akhirnya ditentukan oleh Allah? Misalnya kita sudah melakukan berbagai upaya untuk anak kita namun perubahan pada anak tidak terlihat.

Nah, di sini orang tua harus berprasangka baik kepada Allah. Kita harus meyakini apa yang ditakdirkan Allah kepada manusia adalah sebuah petunjuk yang mengarahkan kepada kebaikan. Jika upaya orang tua untuk pendidikan anaknya menghasilkan kegagalan, mungkin bagi orang tua saatnya mengevaluasi mungkin ada hal-hal yang salah baik dalam motivasi orang tua maupun metode pendidikannya. Kesalahan-kesalahan ini hendaklah menjadi momen taubat bagi orang tuanya untuk segera meluruskan motivasi dalam mendidik anak, lebih meningkatkan lagi pengetahuan tentang pendidikan anak, mengubah cara dalam mendidik anak, memindahkan dari tempat yang dirasa kurang cocok ke tempat lain yang lebih baik dan hal-hal lainnya berdasarkan hasil evaluasi. Mudah-mudahan efek dari taubatnya orang tua ini menjadi wasilah bagi orang tua untuk mendapatkan kemudahan dan keberhasilan dari Allah swt.



Gadget sebagai salah satu yang mesti diwaspadai dalam pendidikan anak
Hal-hal yang Harus Diperhatikan Saat Mendidik Anak
 Hafizh tumbuh menjadi anak yang penyayang. Sikap pengalah dan menjauhi konflik membuat dia tidak pernah memiliki musuh sekaligus sering dimanfaatkan oleh teman-temannya. Di sekolahnya, ibu guru suka menggilir anak-anak menjadi ketua kelompok belajar atau tugas. Saat Hafizh terpilih menjadi ketua kelompok, maka daripada ia harus membagi-bagi tugas dan menyuruh anggota kelompoknya mengerjakan, Hafizh lebih memilih mengerjakan semua tugas-tugas itu.

Mendengar cerita tentang Hafizh dari Ibu guru, perasaan Ibu Lina terharu sekaligus prihatin. Terharu karena Hafizh ternyata anak yang baik dan prihatin karena Ibu Lina tahu seharusnya Hafizh tidak mengerjakan tugas-tugas temannya. Berarti jiwa kepemimpinan Hafizh harus dibangkitkan, begitu saran Ibu Guru.

Ternyata karakter anak itu bisa muncul dalam bentuk prilaku positif sekaligus negatif, Ibu Lina terus memikirkan ucapan-ucapan Ibu Guru. Prilaku negatif yang muncul bukan untuk membuat kecewa namun menjadi pertanda bagi orang tuanya untuk melakukan langkah pendidikan.

-          Sifat Khas Setiap Anak

Setiap anak memiliki kekhasan masing-masing sehingga penangannannya pun mesti personal. Tidak bisa anak yang satu dibandingkan dengan anak yang lain walaupun itu adik kakak. Apalagi jika dibandingkan dengan anak orang lain yang beda keturunan, beda lingkungan dan beda didikan. Diharapkan pengenalan orang tua yang intens kepada anaknya menjadi bahan saat melakukan pendekatan dan pengajaran kepada anak. Contohnya anak yang karakternya aktif dan gerak tubuhnya sangat cepat tidak bisa dilarang-larang untuk berdiam diri lama-lama. Orang tua harus mengerti betul karakter anaknya sehingga pola pengajarannya disesuaikan dengan keadaan anak. Dengan perhatian ini mudah-mudahan hasilnya akan lebih maksimal.

-          Pengaruh orang-orang terdekat

Manusia memang tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan termasuk orang tua. Orang tua mesti menyadari betul kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya sehingga semenjak memiliki anak berusaha keras untuk meminimalisasi kelemahannya tersebut. Setidaknya tidak menampakan di hadapan anak yang berakibat ditiru oleh anak. Misalnya ayah memiliki kebiasaan merokok. Sedapat mungkin kalau ayah belum bisa menghentikannya, cobalah untuk tidak merokok di depan anaknya.
Demikian pula dengan lingkungan rumah, teman dan sekolah. Kelemahan-kelemahan yang ada pada kakaknya sang anak atau keluarga lainnya yang tinggal bersama kita tidak dicontoh oleh anak kita. Misalnya kelemahan kakak itu masih sering keceplosan berkata kasar. Nah, bagaimana supaya hal itu tidak menular pada adiknya. Demikian pula pengaruh kelemahan yang ada pada teman-teman sang anak atau gurunya bisa dikurangi dengan kita sering mengajak dialog anak kita.

-          Pengaruh Negatif dari Luar

Seperti kita ketahui bersama jika perkembangan teknologi saat ini demikian pesat. Yang dulu tayangan televisi hanya terbatas, sekarang informasi apapun bisa diakses dengan mudah. Telepon genggam, media sosial, budaya asing sedemikian mudah dilihat dan mempengaruhi anak-anak kita. Karenanya bagaimana caranya supaya orang tua bisa terus melakukan monitoring dan controling terhadap anak. Orang tua tidak mungkin melarang-larang anaknya untuk tidak menonton tayangan-tayangan di internet atau televisi dan berinteraksi di dunia maya. Saat ini, PR anak-anak pun banyak yang dibagikan gurunya melalui media sosial seperti Line. Tugas-tugas dikumpulkan melalui email. Jadi bagaimana mungkin tidak memperbolehkan anak membuka internet?


Jadi jalan satu-satunya adalah kembali kepada fungsi dan tugas orang tua dalam mendidik anak. Orang tua tidak bisa setengah-setengah dalam pendidikan anak ini. Tapi betul-betul harus menjadi tanggung jawab utama. Karena jika orang tua menyepelekan pendidikan anaknya, maka orang tua pula yang akan terkena dampaknya. Tidak sekarang, mungkin di waktu yang akan datang.
#BlogtoBook
Catatan: Ini baru isi bab 1. InsyaAllah masih dalam tahap revisi.  Masih banyak yang harus diubah. Bab-bab berikutnya saya ingin bisa menuturkan seperti buku parenting Ayah Edy yang memberikan banyak contoh, lebih ringan dibaca tapi tetap memberikan pencerahan. 
 

10 komentar:

  1. Ini calon buku? Waa ga sabar nunggu bab-bab selanjutnya... Bab pertamanya aja udah jleb bgt...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mba insyaAllah ini baru bab 1. Mudah-mudahan saya bisa lancar nulisnya. Mohon doanya saja :)

      Hapus
  2. Semangat mbak..ceritanya udah ngalir :)

    BalasHapus
  3. pengaruh orang terdekat termasuk keluarga besar ya, mba Yas.

    BalasHapus
  4. Ngebayangin entar pas jadi buku, ini bisa jadi kado bagus buat yang baru menikah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin...Mudah-mudahan bukunya bisa jadi ya, Mba :)

      Hapus

Terima kasih sudah meninggalkan jejak :)