Foto dari Unsplash |
Saya yang melihatnya benar-benar gemas. Saya bilang,
coba Ibu tinggalin dulu anaknya ke dapur. Si ibu nurut. Begitu sadar ibunya
pergi, anak langsung mengejar ibunya. Menendang dan menggigit ibunya untuk mencari
perhatian.
Melihat kasus ini, saya menilai sikap anak seperti
itu bukan baru saja. Dari beberapa kejadian sebelumnya, agaknya anak sudah tahu
kalau ibunya bisa dikontrol dengan sikap demikian. Mungkin ketika pertama kali,
anak melihat ibunya bersikap reaktif, menunjukan kekhawatiran atau kekagetan atau
malah diikuti keinginannya.
Saya berpendapat, ketika anak sudah tidak bisa
dikendalikan dengan pembicaraan baik-baik, tidak bisa dialihkan perhatiannya,
lebih baik didiamkan. Pasang raut wajah tidak berkenan. Tetap mengawasi tapi
tidak menunjukan. Kalau seandainya anak nekad melakukan hal yang menyakiti
dirinya, orang tua sigap menolong tanpa mengubah raut wajah.
Saya pernah mengalami ini waktu Ade berusia sekitar
5 tahun. Waktu itu kita sedang di rumah makan padang di daerah Buah Batu. Di
rumah makan itu ada warungnya. Kebetulan di warungnya tidak ada yang jaga. Ade
teriak-teriak ingin permen.
“Bapak tidak mengerti! Ibu tidak mengerti! Ade kan
pengen permen itu!” protes Ade kuat-kuat. Wajahnya mengeras antara marah dan
menahan tangis. Para pengunjung langsung melihat ke arah kita.
Suami saya langsung merespon, “Bapak mengerti Ade
ingin permen itu. Tapi Ade juga harus mengerti Bapak. Bapak belum tahu cara
membeli permen itu. Penjaga warungnya tidak ada. Kita tidak boleh mengambil
barang orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya.”
Saya meraih Ade ke pelukan. Ade menangis
tersedu-sedu.
“Eh, permen itu kan ada berbagai rasa. Sambil
menunggu penjaganya datang, kita cerita yuk tentang permen itu,” saya berusaha
mengalihkan perhatian Ade. “Kalau ibu sukanya rasa blueberry. Kalau Ade nanti
mau beli rasa apa?”
“Rasa orange.” Ternyata Ade mau merespon
pertanyaanku. Artinya emosi dia mulai stabil.
“Oh berarti rasanya asam dong? Memang Ade kuat ya
rasa asam?”
“Kuat.”
“Wah hebat dong! Waktu kecil, Ibu juga suka dibeliin
permen itu lho oleh Apih (panggilan Ade pada kakeknya). Tapi belinya
jauuuh...banget. Jadi nggak bisa sering-sering dibeliin.”
Obrolan terus berlangsung hingga akhirnya penjaga
warung datang, alhamdulillah...
Itu Ade yang memiliki kepribadian cukup akomodatif. Berbeda
dengan salah seorang kakaknya. Kakak memiliki watak yang keras. Terlihat dalam
setiap sikapnya hingga sekarang menginjak kelas 1 SMP. Dulu waktu usia 2,5
tahun disapih, nangisnya sampai terdengar satu gang. Tetangga pada menanyakan
kenapa Kakak nangis siang malam sampai lama sekali. Dia bisa guling-guling
mulai dari ruang tamu hingga dapur tanpa bisa dibujuk.
Demikian juga, jika Kakak marah. Dia tidak bisa
dialihkan sama sekali. Semua bujukan kita, lewat! Kalau sudah begitu, biasanya
saya membawa Kakak masuk kamar dan bersama-sama dengannya di kamar hingga acara
nangisnya selesai. Dia berhenti menangis karena capek, karena tidak saya
pedulikan dan mungkin sudah habis rasa ingin menangisnya. Namun dari situ Kakak
sepertinya membuat kesimpulan, bahwa tidak semua yang dia inginkan bisa
dipenuhi.
Oya, berbeda lagi dengan keluhan seorang teman yang
mengatakan anaknya suka rewel ketika ada tamu. Yang tadinya anak anteng saja,
pas ada tamu mendadak minta macam-macam yang tidak masuk akal. Menurut saya itu
masalahnya lain lagi. Mungkin anak tidak nyaman saat perhatian ibu teralihkan
pada orang lain. Teman saya pun membenarkan. Katanya di rumah memang seringnya
cuma ada dia berdua dengan anaknya. Jadi, anaknya tidak terbiasa jika ada orang
lain datang ke rumah dan mengambil perhatian sang ibu.
Dari kasus-kasus di atas, yang terpenting bagi kita
sebagai orang tua, kenali dulu masalahnya. Kenapa anak berbuat seperti itu.
Baru kita menangani sesuai dengan masalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah meninggalkan jejak :)